Selasa, 16 Juli 2013

Soal BBM, Manuver Politik PKS Tidak Jelas



(Yoyakarta) - Manuver politik Partai Keadilan Sejahtera (PKS) terhadap persoalan rencana kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) oleh pemerintah, dinilai tidak jelas. PKS tidak berani tampil konsisten dan tegas dengan menjadi oposisi murni. Publik menilai PKS hanya mencari kesempatan untuk mencari simpati dan mendongkrak popularitas.
Demikian disampaikan Manager Riset Bulaksumur Empat Research and Consulting (BERC) Yogyakarta, Bambang Arianto, Selasa 18 Juni 2013.

“Publik pun menilai PKS hanya mencari kesempatan saja untuk bisa mencari simpati, bila PKS benar memperjuangkan kepentingan rakyat kenapa baru sekarang menolak kenaikan BBM, kenapa di medio 2012 setuju dengan kenaikan BBM saat itu,” ujarnya.
Menurut Bambang, dalam survey yang dilakukan BERC belum lama ini, diperoleh fakta bahwa PKS dianggap licik dengan bermuka dua dalam polemik BBM. Disatu sisi menolak kenaikan BBM, dan disisi lainnya tetap mengklaim sebagai bagian sah koalisi dan terkesan belum ikhlas melepas tiga menteri PKS dalam jajaran Kabinet Indonesia Bersatu (KIB).
Bambang mengatakan, berdasarkan hasil survey, mayoritas responden setuju bila PKS keluar dari koalisi sebesar 63,6 %, yang tidak setuju hanya 16,9 %, dan sisanya tidak tahu sebesar 19,5 %. Ini membuktikan bahwa langkah yang diambil PKS kurang populer dan kurang didukung oleh masyarakat umum.
Masyarakat menilai ada atau tidaknya PKS dalam koalisi, sama saja tidak memberikan hasil yang bermanfaat, dan publik pun menilai lebih baik PKS keluar dari koalisi dan lebih memilih oposisi murni.
“Untuk penjelasan bila anda memilih setuju bila PKS keluar dari koalisi, apakah anda akan bersimpati dan mimilih PKS dalam pemilu 2014? Nyaris yang tidak bersimpati sebesar 69,1%, yang setuju hanya 8,6% dan sisanya 22,3 % tidak tahu. Ini artinya langkah dilakukan PKS tidak akan mempengaruhi persepsi publik yang mengatakan bahwa PKS adalah partai yang mampu memperjuangkan aspirasi rakyat. Bahkan publik menilai ini adalah akal-akalan politik PKS saja dan tidak murni memperjuangkan kepentingan rakyat.” katanya .
Lebih jauh Bambang mengatakan, saat public dilempar pertanyaan bila tidak setuju PKS keluar dari koalisi, apakah akan bersimpati dan memilih PKS dalam pemilu 2014, tetap saja publik tidak bersimpati yang dibuktikan dengan kisaran 73,5% yang menyatakan tidak akan memilih PKS pada pemilu 2014, yang bersimpati atau menjawab ya hanya 7,0% dan sisannya 19,5 % memilih tidak tahu.
Bambang mengungkapkan, penolakan masyarakat terhadap PKS merupakan karma politik dari sikap ketidakkonsistenan PKS dalam memperjuangkan aspirasi rakyat. Bila dalam politik BBM saja PKS belum berani tampil konsisten dan tegas dengan menjadi oposisi murni, apalagi dalam polemik lainnya. Publik akan semakin meragukan masa depan partai ini dalam mengagregasi kepentingan rakyat.
“Jangan-jangan publik akan selalu disuguhi pelbagai intrik politik yang akan merusak transformasi pendidikan politik. Alih-alih memberikan dampak dan citra positif bagi elektoral PKS namun sebaliknya akan menjadi bumerang yang harus diterima PKS,” jelasnya.
Bambang menambahkan, hasil survey tersebut menjadi gambaran akan ketidakjelasnya manuver yang diambil PKS. Pelajaran yang dapat ambil adalah belum berjalannya proses berharga parpol untuk terus berupaya melakukan pelembagaan lembaga kepartaian guna memberikan pendidikan politik yang santun pada masyarakat.
“Bila PKS juga tidak dapat memberikan langkah persuasif yang baik pada publik dalam polemik BBM ini bisa jadi manuver ini akan menjadikan PKS mengalami dilema jilid 2 dalam menghadapi politik electoral,” tegas Bambang.